Minggu, 25 Mei 2008

Ini MEDAN, Bung...!!

Orang Medan spontan dan terbuka. “Bahkan paritnya pun terbuka,” kata doktor antropologi UGM. Istilah Ini Medan, bung muncul pada 1965.

Namun orang Medan tidak ingin dianggap enteng, sehingga muncullah istilah “gaya Medan” dan “Ini Medan, bung!” Padahal slogan ini bisa diartikan primitif. Orang medan itu spontan dan terbuka. “Bahkan paritnya pun terbuka,” kata Dr. Syafri Sairin, 46 tahun. Ia membandingkan dengan Yogyakarta. “Di sana paritnya tak ada yang terbuka. Artinya, orangnya juga tertutup,” katanya.

Doktor antropologi Universitas Gadjah Mada itu bicara di forum diskusi yang diselenggarakan Kelompok Koridor, dengan anggota dosen Fakultas Sastra USU, Medan, pertengahan November 1991. Selain dengan contoh tadi, ayah tiga anak itu menunjuk pemeo “Ini Medan, Bung” sebagai manifestasi “rasa tak aman” orang Medan. Ungkapan itu menyiratkan perilaku yang mengacu pada kekuatan fisik. “Menurut teori ilmu sosial, ini tergolong masyarakat yang masih primitif,” ujar anak Medan yang sudah 28 tahun merantau di Jawa ini.

Pengamatan itu, diakuinya, tak seluruhnya benar. “Dalam ilmu sosial tidak ada yang pasti. Ada warna lain di antaranya. Tapi ada yang menonjol, dan itu masalahnya,” katanya kepada Irwan E. Siregar dari TEMPO. Memang, ada kesan dari pemeo yang muncul sekitar tahun 50-an itu, bahwa orang Medan jangan dianggap enteng. Ini diutarakan M.Y. Effendi Nasution, 57 tahun, tokoh penumpasan PKI di sana, dan lebih dari sepuluh tahun memimpin organisasi pemuda yang banyak putus sekolah. “Celakanya, sikap tidak ingin dipandang enteng ini merebak ke soal yang pribadi juga, hingga konflik gampang disulut,” katanya kepada Affan Bey Hutasuhut dari TEMPO.

Potensi konflik itu tertanam sejak zaman Belanda. Pada masa itu wilayah permukiman dibagi atas dasar ras atau suku. “Dulu yang disebut warga Medan adalah mereka yang tunduk pada hukum kolonial,” kata Prof. Dr. Usman Pelly, 53 tahun. Menurut guru besar IKIP Medan itu, masyarakat dimaksud adalah keturunan Cina, Arab, India, dan Eropa -yang masuk ke sana sejak Jacobus Nienhuijs membuka perkebunan tembakaunya sekitar pertengahan abad ke-19.
Permukiman mereka itu kelak yang menjadi pusat kota. Ini tampak pada arsitektur yang kini masih tersisa. Kawasan yang didiami keturunan asing ini disebut gemeente Medan.

Sedangkan yang pribumi, seperti Melayu dan Jawa, secara administratif tak tunduk pada kolonial. Mereka di bawah kuasa Sultan Deli, hingga permukimannya disebut “Wilayah Sultan”. Ketika sudah merdeka, Medan menjadi kota terbuka. Beragam etnis masuk ke sini. Mungkin, buat menyesuaikan diri, mereka pun membuat permukiman mengelompok. Lahirlah perkampungan Orang Karo, Batak Toba, Minangkabau, dan pelbagai etnis lain yang menggelembung hingga kini.

Sebelum 1950, kelompok Toba 0,3% dari penduduk Medan. Dan 30 tahun kemudian menurut survei Usman Pelly, jumlahnya menjadi 15%. Lambat laun permukiman Cina terkepung. “Mereka terpulau,” ujar Usman. Karena tak mampu berbaur seperti halnya orang Arab atau India, mereka pindah dan membentuk kantung permukiman baru. “Di sini mereka menunjukkan sikap eksklusif, misalnya membangun pagar mirip benteng,” tambah Usman kepada Munawar Chalil dari TEMPO.

Dalam masyarakat majemuk ini paling tidak enam kelompok etnis dan ras yang dominan. Menurut penelitian, 1981, Usman menemukan 29,3% warga Medan adalah etnik Jawa, 15% Batak Toba, 14% Cina, 13% Mandailing Sipirok, 11% Minang, dan 8% Melayu. Selebihnya, Aceh, Sunda, Karo, India, dan beberapa suku lain, masing-masing di bawah 5%. Mereka inilah sekarang yang disebut orang Medan.

Tak peduli asal etnik, mereka kini mengumandangkan idiom baru, yaitu “Anak Medan”, terutama di rantau. “Bila ditanya asalnya, mereka jawab: Anak Medan,” kata Usman. Dalam nada kelakar, ia menjelaskan, orang Medan itu tak mudah mempercayai orang lain. “Mungkin, karena ia tak gampang dipercayai orang.”

Curiga tak berkeruncingan ini membuat orang Medan terpulau jika di luar. “Kalau merantau, ia mesti disosialisasikan lebih dulu,” kata Usman. Contohnya, anaknya ketika mencari tempat kos di Bogor. Beberapa rumah didatangi, selalu dijawab tak ada tempat. “Mereka menolak karena anak saya bilang dari Medan,” cerita Usman.

Situasi konflik yang diwarisi dari zaman penjajahan itu, menurut Syafri, membuat orang Medan merasa harus mengukuhkan identitas grup etniknya. “Ini bukan mendorong integrasi, tapi konflik,” ujarnya. Namun, konflik itu diakuinya penting. Secara politis, memang, perlu stabilitas. Artinya, jangan ada konflik. “Sebetulnya, konflik itu perlu untuk memacu dinamika,” katanya kepada Irwan E. Siregar dari TEMPO.

Munculnya semboyan “Ini Medan, Bung” sekitar 1965, menurut Syafri, mengandung sikap lebih unggul dari orang lain. “Cuma, sayang, hebatnya di bidang fisik,” kata Syafri. Ia sekali lagi membandingkan dengan ucapan khas Yogya, “Ini Yogya, Mas.” Itu berarti harus sopan dan bersikap intelek. “Dan Ini Medan, Bung berarti jangan main-main. Nanti saya pukul you,” kata Syafri.

Kesannya memang seram berurusan dengan orang Medan, sampai ada sebuah bank asing di Jakarta masih enggan membuka cabang di Medan. “Kalau tak memahami gaya Medan, ya, seolah berusaha di sana risikonya tinggi,” komentar Nyoman Moena kepada TEMPO.

Menurut Dirut PT Surveyor Indonesia dan salah satu pemrakarsa Bank Muamalat Indonesia ini, pengusaha Medan yang terdiri dari beragam etnis itu membuat suasana bisnis di sana jadi dinamis. Tapi tak berarti mereka meninggalkan etika bisnis. Satu bukti, menurut Nyoman Moena, kredit macet di Medan justru lebih kecil dibandingkan di daerah lain.

HORAS MEDAN, MAJU TERUS TANAH KELAHIRAN KU.. HORAS BAH HUMBANI NASIAM

0 komentar:

 
ANAK YANG HILANG © 2007 Template feito por Templates para Você